Semua bermula dari sebuah mitos legenda asal Tiongkok:
Menurut legenda, dahulu kala, Nián, adalah seekor mahluk buas raksasa pemakan manusia dari pegunungan yang muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak, dan bahkan warga desa. Untuk melindungi desa dan diri mereka, para warga menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. Dipercaya bahwa dengan melakukan hal itu, maka Nián akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen.
Pada suatu waktu, penduduk melihat Nián lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa. Nian pada akhirnya ditangkap oleh Hongjun Laozu, dewa Taoisme dan dijadikan kendaraan Hongjun Laozu.
Sebuah ukiran menggambarkan dewa Hongjun Laozu menunggangi Nián (atas) dan ilustrasi asal Jepang (bawah)
Penduduk kemudian percaya bahwa Nián takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nián.
Kebiasaan adat untuk pengusiran Nián ini kemudian berkembang menjadi perayaan tahun baru. Mitos Nián ini akhirnya diangkat pula menjadi seni tari yang sampai saat ini dilestarikan dengan nama Barongsai, yang dimana menggambarkan Nián mengelilingi banyak orang dan diberikan angpao merah untuk "dimakan".
Untuk perayaan tahun baru imlek di Indonesia sendiri mengalami momen naik turun. Di era pemerintahan Soekarno, terjadi perubahan dan revisi akan perayaan hari raya tertentu hingga muncul peraturan akan rekomendasi orang Tionghoa untuk meninggalkan budaya dan identitas asli mereka agar lebih tampak nasionalis.
Di era Soeharto kemudian, perayaan imlek mulai dilarang secara terbuka dan suku Tionghoa ditekan serta dibatasi kebebasan berekspresi maupun memperingati budaya leluhur mereka. Bahkan kata nenek saya dulu ada lembaga bernama Badan Koordinasi Masalah Cina atau BKMC, terdengar rasis bukan? Silahkan nilai sendiri.
Semua akhirnya berubah ketika Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengeluarkan Perintah Presiden atas perayaan hari raya imlek sebagai libur nasional dan seluruh kebudayaan orang Tionghoa mampu diekspresikan dan ditunjukkan secara terbuka bagi masyarakat Indonesia.
Tahun baru Imlek akhirnya terus dirayakan hingga saat ini, orang - orang Tionghoa akan berkumpul dengan keluarga besar, makan - makan, mengunjungi kerabat, hingga yang menikah harus memberikan angpao kepada anak - anak kerabat.
Orang - orang Tionghoa juga akan mengucapkan Gong Xi Fat Cai atau berarti selamat dan semoga diberikan rejeki melimpah. Biasanya orang Tionghoa Indonesia akan menyebut dengan aksen Hokkien, Kiong hi, atau dari kata Kiong hi huat cai.